Nelayan Suku Bajo Melestarikan "Mewado" di Muara Wungkolo




Masyarakat Desa Wungkolo di Kecamatan Wawonii Selatan, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tradisi khas dan unik. Masyarakat setempat menamakan tradisi tersebut mewado, yakni baku tukar barang atau disebut juga "barter" antara suku Bajo dengan suku Wawonii.

Suku Bajo selama ini dikenal sebagai pelaut paling tangguh di wilayah nusantara. Mungkin karena menjadi pelaut, seperti ditulis Ericssen di National Geographic, suku Bajo lebih dikenal sebagai komunitas yang lebih suka hidup nomaden, dari pulau ke pulau dan memilih menetap di teluk atau kawasan tepi laut. Mereka pun mengandalkan hidup dari habitat laut, dengan cara mencari ikan, cumi, dan binatang laut lainnya. Dengan hidup nomaden, suku Bajo pun akhirnya hidup menyebar atau berdiaspora. Tidak aneh apabila suku Bajo bisa dijumpai di wilayah mana saja di nusantara, seperti di Sulawesi, Kalimantan, bahkan di Filipina serta Malaysia.

Adapun topik yang diilustrasikan dalam tulisan ini adalah tradisi unik yang disebut mewado, yang hingga saat ini dilestarikan sebagian suku Bajo di Sulawesi Tenggara, khususnya di Pulau Wawonii yang termasuk wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Lokasi mewado berada di muara Wungkolo.

Boleh jadi, masyarakat Bajo yang melestarikan mewado saat ini hanya melanjutkan tradisi yang sudah dilakukan nenek moyangnya, entah sejak kapan. Salah seorang nelayan Bajo, kepada penulis, mengatakan tradisi tersebut diikutinya sejak tahun 2006. Adapun barang yang ditukarkan warga Wungkolo, antara lain umbi-umbian, buah-buahan, sayuran, dan lainnya. Dalam melakukan barter (mewado) antara warga Wungkolo dengan nelayan suku Bajo, mereka masing-masing  menyesuaikan harga yang akan ditukarkan. Misalnya, kelapa muda dan singkong yang ditukarkan disesuaikan harganya dengan harga ikan dari nelayan suku Bajo. Ketika dari masing-masing telah terjadi kecocokan dan kesepakatan maka terjadilah barter (mewado).

Nelayan suku Bajo berasal dari berbagai macam daerah. Ada yang dari Tinanggea, Bombana, Lora dan Pulau Maginti. Mereka datang dan tinggal di muara Wungkolo pada saat musim teduh, yaitu pada awal bulan April sampai dengan akhir bulan Juni. Kegiatan mewado berlangsung selama dua bulan lebih. Pada akhir bulan Juni, nelayan suku Bajo kembali ke daerahnya masing-masing dan menjual ikan asin yang telah diolahnya selama berada di muara Wungkolo.

Tidak seperti mewado tahun lalu, pada musim pandemi Corona saat ini kegiatan mewado menjadi sepi. Pada keadaan normal, puluhan nelayan suku Bajo meramaikan mewado di Wungkolo, namun di tengah pandemi corona tahun ini hanya ada tiga kepala keluarga nelayan suku Bajo yang datang ke muara Wungkolo. Mereka berasal dari Tinanggea - Konawe Selatan.

Dodong (bukan nama sebenarnya) salah satu nelayan suku Bajo mengatakan, "Kami telah mengetahui berita pandemi corona. Kedatangan kami di muara Wungkolo untuk mencari nafkah seperti biasanya. Orang Bajo itu orang laut, karena bekerja di laut untuk mencukupi kebutuhan hidup".

Menurut Dodong, nelayan suku Bajo sulit terserang virus corona karena mereka lebih banyak tinggal di atas laut dan berpindah-pindah mencari pulau dan berlabuh di kawasan pesisir di mana terdapat banyak ikan.


Komentar

  1. terima kasih. blog ini membantu saya dalam mengerjakan tugas

    BalasHapus
    Balasan
    1. apakah penulis mengetahui mengenai (woinahu) pernikahan sederhana dengan makan kue dan air panas

      Hapus
    2. terimakasih banyak atas jawabannya sangat membantu

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer