To Rete : Sejarah Pulau Wawonii
A. Asal Usul Penduduk Pulau Wawonii
Menurut
sumber Portugis bahwa pada tahun 1575 Masehi, pulau wawonii disebut Pulau Kepiting. Salah satu sumber
sejarah yang menjelaskan akan penyebutan ini terdapat dalam sebuah laporan
penjelajah bernama Francis Fletcher tahun 1854 : The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to
that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished Manuscript of Francis
Fletcher. Dalam tulisan ini dilaporkan bahwa setelah meninggalkan Maluku,
Sir Francis Drake tak sengaja menemukan pulau tak berpenghuni di lepas pantai
Tenggara Sulawesi. Ia menamai daerah itu pulau kepiting. Sang pelaut Sir
Francis Drake dan anak buahnya memutuskan singgah beristirahat dan tinggal di
pulau itu selama 26 hari untuk melakukan perbaikan besar-besaran terhadap
kapalnya.[5]
Pada
tahun 1581 Masehi, merupakan masa kejayaan dan puncak ekspansi Kesultanan
Ternate. Gamlamo (Gamalama) merupakan nama ibu kota Kerajaan Ternate yang
rajanya bernama Sultan Baabullah Datu Syah. Kerajaan ternate merupakan Kerajaan
Islam yang menguasai banyak kerajaan-kerajaan di Sulawesi diantaranya yaitu kerajaan
Banggai, Bungku, dan kerajaan kecil lainnya serta menaklukkan kerajaan Manado (Sulawesi
Utara) dan kerajaan Buton. Diantara kerajaan-kerajaan yang dikuasai, ada
kerajaan yang tidak ditaklukkan yaitu kerajaan Konawe.
Pulau Wawonii terletak di
laut banda, bagian utara pulau Buton yang dipisahkan selat Wawonii yang tidak
terlalu luas[6]. Sebelum
berpenghuni, pulau Wawonii dinamai “Tangkombuno”
oleh Raja Bataraguru (Raja Buton ke
III). Etnik Bungku, Kulisusu dan Tolaki merupakan etnik yang pertama kali
menghuni pulau Waworete sekitar tahun 1577 Masehi. Hal ini dimulai saat pulau Waworete (Wawonii) berada dalam
kekuasaan Kerajaan Konawe. Etnik Bungku-Kulisusu-Tolaki yang berjumlah sekitar dua
puluh tiga kepala keluarga, bermukim diatas gunung Waworete. Penduduk Wawonii yang bermukim diatas gunung yang datar
itu, dipimpin oleh seorang bangsawan dari Konawe bernama Mokole Mbuatana[7]
yang diberi gelar Taata Mbatu[8] (1577-1579 M). Raja Konawe menamai penduduk
Waworete dengan sebutan To Waworete
yang dipersingkat menjadi To Rete,
Kata “To” atau “Toono” artinya orang, “Wawo”
atau “Iwawo” artinya diatas dan “Rete” atau “Merete” artinya datar. Jadi, “To
Rete” artinya orang-orang yang bermukim diatas gunung yang datar.
Berdasarkan
keterangan ini dapat dikatakan bahwa bahasa Wawonii adalah bahasa yang
terbentuk dari percampuran beberapa bahasa diantaranya yaitu Bungku- Kulisusu-Tolaki. Menurut Basrin
Melamba, pembagian kelompok rumpun bahasa Bungku-laki adalah sebagai berikut:
bahasa mori (moronene), bahasa bungku, bahasa kulisusu, bahasa tolaki, dialek
tolaki (konawe dan mekongga) dialek laiwoi. Bahasa Wawonii-kulisusu: dialek
kulisusu dan dialek wawonii[9].
Sedangkan menurut Pemetaan Bahasa di daratan Sulawesi Tenggara bahwa bahasa Torete merupakan Rumpun Bungku-Tolaki Cabang Timur. Bahasa Torete bukan bahasa tersendiri melainkan dialek bahasa Bungku. Bahasa Wawonii juga merupakan Rumpun Bungku-Tolaki Cabang Timur. Wawonii dan Menui merupakan dua dialek yang berbeda tetapi satu asal bahasa. Penutur bahasa Wawonii tersebar di pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara), pulau Menui (Sulawesi Tengah) dan di Desa Molele Kec. Lasolo.[10]
C.
Status Pulau
Wawonii
Pulau Wawonii merupakan
wilayah yang diperebutkan oleh beberapa kerajaan di kawasan timur. Sebelumnya pulau Wawonii masuk kedalam wilayah
kerajaan Konawe, kemudian kerajaan Bungku (kerajaan bawahan kesultanan
Ternate), selanjutnya kesultanan Buton dan terakhir kerajaan Laiwoei (Afdeeling
Boeton en Laiwoei).[11]
Pada masa pemerintahan Kesultanan Buton, Sultan Buton membentuk Sistem Pertahanan Keamanan dengan falsafah perjuangan yaitu: “Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri), “Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri), “Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah), dan “Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama).[12]
Pulau Wawonii dimasa lalu merupakan bagian dari sistem pertahanan Matano Sorumba dengan sistem Barata, Wawonii masuk dalam Barata Kulisusu.
D. Kerajaan Wawonii antara Fakta dan Mitos?
Berdasarkan
peta-peta kuno Sulawesi Tenggara,
di pulau Wawonii tidak pernah berdiri suatu kerajaan kecil. Status Pulau Wawonii sama dengan
Pulau Menui, yaitu daerah atau wilayah yang dikuasai oleh suatu kerajaan.
Status
penguasaan pulau Wawonii berpindah-pindah.
Sebelumnya
pulau Wawonii masuk kedalam wilayah kerajaan Konawe, kemudian kerajaan Bungku
(kerajaan bawahan kesultanan Ternate), selanjutnya kesultanan Buton dan
terakhir kerajaan Laiwoei (Afdeeling
Boeton en Laiwoei).[13]
Pemerintahan
Pulau Wawonii yang di pimpin oleh seorang Lakino
adalah pejabat kerajaan yang ditunjuk atau diberikan
wewenang untuk mengatur masyarakatnya dan membangun daerah atau wilayah yang di
pimpinnya dengan ketentuan harus membayar upeti atau pajak (hasil bumi) setiap tahunnya
kepada kerajaan yang menguasainya.
Menurut
Fletcher : “Negeri Tombuku berada dibawah Sangaji Tombuku tetapi apabila
wilayah negeri itu luas, seorang pejabat ternate akan membantu tunduk kepada
Raja mudanya yang di tempatkan di daerah itu. Jumlah penduduk Tombuku diatas
15.030 jiwa, besarnya jumlah penduduk tidak diketahui dan tidak bisa
ditafsirkan. Selain itu pulau Boboni juga dihuni yang saya tidak ketahui
pastinya. Jumlah mereka diduga sangat banyak karena dilaporkan bahwa pulau itu
memiliki kekayaan tanaman dan buah-buahan, kerbau, kambing, selanjutnya beras
merah dan hitam, rotan dan kelapa juga disetorkan. Juga pulau Manui, menurut
Tuan Bosscher pulau ini dihuni dan menyetor hasil-hasil yang sama seperti Boboni.[14]
Menurut Kesultanan Buton bahwa pulau Wawonii pada masa
lalu merupakan bagian dari sistem pertahanan Matano Sorumba dengan sistem
Barata, Wawonii masuk dalam barata Kulisusu. Menurut Filolog bahwa Wawonii
merupakan batas terluar dari pertahanan Kesultanan Buton.[15]
Namun berdasarkan Oral
Tradition (Tradisi Lisan) bahwa di pulau Wawonii pernah berdiri suatu
Kerajaan yang berkedudukan di Tangkombuno dan nama raja pertamanya adalah
Wawonii. Jadi nama Wawonii merupakan nama keseharian raja pertama Tangkombuno.
Dalam sumber lain juga dikatakan bahwa raja pertama etnik Wawonii (Tangkombuno)
bernama Bataraguru.[16]
Dalam mitos ini pula menyebutkan bahwa Wawonii pada mulanya bernama
Tangkombuno. Perubahan nama dari Tangkombuno menjadi Wawonii ditandai dengan
datangnya raja Wawonii yang pertama, bernama Kabimoa Bataraguru. Dalam mitos
ini diceritakan bahwa raja pertama ini tidak diketahui asal kedatangannya.[17]
E. E. Penyebaran Islam di Pulau Wawonii pada Masa Kesultanan
Ternate
Setelah Kesultanan Ternate berhasil menaklukkan Kerajaan Buton pada tahun 1581 Masehi, Sultan Baabullah Datu Syah mengutus Para Mubaliq untuk mendakwahkan Agama Islam di seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate (termasuk pulau Waworete). Pada masa itu, penduduk pulau Waworete (Wawonii) telah memeluk Agama Islam. Akan tetapi, ajaran Islam yang dijalankan masih dipengaruhi oleh paham animisme. Penduduk pulau Waworete menerima ajaran Agama Islam dari seorang Ulama yang bernama Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sekitar tahun 1579 Masehi.
Dalam
peta tua Sulawesi yang dibuat sekitar tahun 1795 tentang rute perjalanan dan pelayaran
orang-orang Ternate dalam melakukan perdagangan dan penyebaran Agama Islam abad XV - XVII, menunjukan rute tersebut
menyinggahi Konawe bagian utara, meskipun daerahnya tidak tertulis namun cukup
jelas garis rute tersebut.[18]
Keadaan ini tidak terlepas dari ekspansi Ternate dalam menyebarkan Islam,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Anthony Reid bahwa, dimana pada
tahun 1580, Sultan Baabullah bersama dengan Calapaya menganeksasi wilayah
Bungku, Tiworo, Buton, Ambon, Selayar dan kerajaan-kerajaan di pantai timur dan
utara Sulawesi dan di bagian selatan Mindanao dan menyebarluaskan Agama Islam
ke wilayah-wilayah itu.[19]
F.
Pemerintahan Wawonii dibawah Kekuasaan Kerajaan Konawe
1. Touna (1579-1601 M)
Touna bergelar Mokole merupakan bangsawan asli keturunan penduduk lokal Waworete
(Wawonii). Mokole Touna diangkat oleh Raja Konawe menjadi kepala
pemerintahan pertama di Waworete pada
tahun 1579 Masehi (awal masuknya Islam di Waworete). Pemerintahan Mokole Touna
berpusat di Waworete dan masyarakat yang di pimpinnya itu menyebut diri mereka
sebagai “Miano Wawonii” yang artinya
orang Wawonii. Sehingga pulau Waworete
kemudian dikenal dengan nama Wawonii. Pada masa pemerintahannya, masyarakat Wawonii belum memeluk Agama
Islam secara keseluruhan dan ritual keagamaan yang dijalankan masih sangat
dipengaruhi oleh paham animisme. Dalam
melakukan upacara-upacara adat dan keagamaan, masyarakat pulau Wawonii
menggunakan benda adat kalapae. Benda
adat ini mulai digunakan pada masa Mokole Mbuatana atau Taata Mbatu, kemudian pada masa Mokole Touna penggunaan benda adat kalapae diwajibkan untuk kalangan
masyarakat Wawonii.
Kalapae
berfungsi sebagai tandu untuk mengusung pemimpin atau bangsawan yang dihormati.
Kalapae berbentuk segi empat sebagai
simbol rumah (tempat kembali) dengan susunan tujuh tangga yang melambangkan
tujuh bidadari, memiliki empat tiang penyangga yang melambangkan empat elemen (air,
api, tanah, udara). Atap bersirap tujuh warna, melambangkan selendang ketujuh
bidadari.[20]
Benda adat kalapae yang berukuran
kecil digunakan pada saat perkawinan,
upacara tahunan dan upacara kematian. Benda adat ini terbuat dari rotan dan
bambu kuning. Peranan penting yang dilakukan Mokole Touna dimasa
kepemimpinannya yaitu menggagas 5 (lima) wilayah pemukiman disepanjang pesisir
pantai Wawonii dan menempatkan sekitar lima kepala keluarga di masing-masing
wilayah tersebut. Setelah Mokole Touna wafat yang melanjutkan kepemimpinannya adalah
Lamboi.
2. Lamboi (1601-1642 M)
Lamboi adalah kepala pemerintahan kedua di pulau Wawonii.
Lamboi berasal dari Kulisusu (Buton) yang datang di pulau Wawonii sekitar awal
abad XVI dan kemudian dinobatkan menjadi Lakino di pulau Wawonii dengan masa
pemerintahan sampai pada akhir abad XVI.
Ayah Lamboi bernama Burahimu (Ibrahim) dan ibunya bernama Wa Ode Wowolo, putri
La Ode Bula (Lakino Kulisusu) dan
Wanisai. La Ode Bula adalah putra La Ode Kabaura (putra keturunan Raja
Majapahit). Jika
penuturan silsilah dihubungkan dengan kedudukan Lamboi sebagai Lakino di pulau
Wawonii adalah suatu hal yang logis, karena Lamboi termasuk golongan bangsawan
yang dapat menduduki tahta kerajaan, baik di pulau Wawonii maupun di Kulisusu.[21] Pemerintahan
Wawonii pada mulanya berpusat di Waworete, namun setelah masa pemerintahan
Lakino Lamboi pusat pemerintahannya dipindahkan ke Tangkombuno.
Peranan Lakino
Lamboi dibidang politik dan sosial budaya selama masa pemerintahannya meliputi
beberapa hal antara lain:
1. Menetapkan agama
Islam sebagai agama resmi yang dianut seluruh masyarakat Wawonii.
2. Menetapkan benda
adat kolungkusara sebagai simbolik
dari nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya dengan
pertimbangan bahwa benda adat sebelumnya yaitu kalapae mengandung unsur animisme yang bertentangan dengan ajaran
Islam.
3. Menetapkan suatu
sistem perpajakan dengan mewajibkan masyarakat Wawonii untuk menyetor sebagian
hasil pertanian mereka.
Pada masa
pemerintahan Lakino Lamboi, sistem pertahanan keamanan pulau Wawonii dapat
terwujud, pelaksanaan pemerintahan berdasarkan ajaran-ajaran atau norma-norma Islam dan tidak terdapat
lagi seorang ata (hamba, budak) yang mengabdi dalam rumah kediaman seorang mokole
(bangsawan).[22]
Ia juga menetapkan benda adat
kolungkusara sebagai simbolik dari nilai-nilai dan norma-norma yang harus
dipatuhi oleh masyarakatnya dengan pertimbangan bahwa benda adat sebelumnya
yaitu kalapae mengandung unsur
animisme yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada masa
pemerintahan La Buke (Sultan Buton) terjadi peristiwa di Wawonii, pertama; adanya
perlawanan Kakiali[23]
yang mendapat bantuan orang Makassar dan orang Butun di Wawani, perlawanan
terhadap VOC pada tahun 1634. Peristiwa yang akhirnya dapat ditumpas itu,
terdapat 30 orang Butun[24]
pendukung perlawanan. Kedua; peristiwa perampokan dan pembunuhan awak perahu (fluit) Velzen pada Januari 1635, yang
terdampar di pulau Wawonii, nahkoda perahu itu, Daniel van Vliest bersama
dengan enam orang awaknya pergi ke Butun untuk meminta pertolongan kepada
Sultan. Tindakan ini didasarkan atas isi kontrak Butun-VOC yang telah ditanda
tangani.[25]
Lamboi menjadi Lakino Wawonii selama 35 tahun dan wafat pada
tahun 1642 Masehi. Kemudian
dilanjutkan oleh Maulu atau Maulidin.
G.
Pemerintahan Wawonii dibawah Kekuasaan Kerajaan Bungku
1. Maulidin (1642-1650
M)
Maulu atau Maulidin merupakan anak
keturunan Mokole Touna. Masa pemerintahan Maulidin adalah masa perluasan
wilayah kekuasaan Kerajaan Bungku (kerajaan bawahan Kesultanan Ternate),[26]
dimana pulau Wawonii menjadi sasaran karena masih berada dalam wilayah kekuasaan
kerajaan Konawe. Demi keselamatan warga Wawonii, Maulidin mengungsikan sebagian
masyarakatnya ke pulau Menui dan ke daerah Lasolo tepatnya dikampung Molele. Berkat
dukungan dan bantuan dari beberapa tokoh terkemuka yang merupakan kaum
bangsawan Wawonii, Maulidin mencoba melakukan perlawanan terhadap pasukan
Tobelo (prajurit Kesultanan Ternate). Tokoh-tokoh tersebut yaitu Lawungo, Toarima, Kosa, Husaini, Lambie,
Malesa, Latumumbu, Laembo dan Mbeoga. Pertempuran berlangsung cukup sengit, namun
Maulidin dan pasukannya berhasil dikalahkan, karena jumlah pasukan Tobelo cukup
banyak yang disertai dengan persenjataan lengkap.
Dengan berakhirnya perlawanan
Maulidin dan pasukannya, maka pulau Wawonii menjadi wilayah dibawah kekuasaan
Kerajaan Bungku. Sejak kedatangan pasukan Tobelo, masyarakat pulau Wawonii
mengalami keresahan. Hal ini disebabkan oleh tingkah laku atau karakter pasukan
Tobelo yang tidak sesuai dengan norma adat yang sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakat Wawonii.[27] Setelah
pulau Wawonii dikuasai oleh Kerajaan Bungku, pemerintahan Wawonii tetap
berjalan dibawah kepemimpinan Maulidin hingga sampai pada tahun 1650 Masehi. Kemudian
dilanjutkan oleh Mbeoga yang bergelar “paapu
owose” (tuan besar).
Menurut Fletcher “Negeri Tombuku[28]
berada dibawah Sangaji Tombuku tetapi apabila wilayah negeri itu luas, seorang
pejabat ternate akan membantu tunduk kepada Raja mudanya yang di tempatkan di
daerah itu. Jumlah penduduk Tombuku diatas 15.030 jiwa, besarnya jumlah
penduduk tidak diketahui dan tidak bisa ditafsirkan. Selain itu pulau Boboni
juga dihuni yang saya tidak ketahui pastinya. Jumlah mereka diduga
sangat banyak karena dilaporkan bahwa pulau itu memiliki kekayaan tanaman dan
buah-buahan, kerbau, kambing, selanjutnya beras merah dan hitam, rotan dan
kelapa juga disetorkan. Juga pulau Manui, menurut Tuan Bosscher pulau
ini dihuni dan menyetor hasil-hasil yang sama seperti Boboni.[29]
2.
Mbeoga
(1650-1745
M)
Pada masa pemerintahan Mokole Mbeoga, Agama Islam
mulai berkembang di pulau Wawonii. Masjid pertama dibangun sekitar tahun 1650
Masehi, bertempat di kampung Dimba dan masjid
itu diberi nama “Masjid Allahu Akbar”.
Masyarakat Wawonii belajar Baca Tulis Al-Qur’an kepada seorang Mubaliq bernama
La Embo bin Husaini. Ia adalah keturunan bangsawan Wawonii yang belajar ilmu Agama Islam pada Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani, seorang Imam
Hadramaut yang datang dari Johor.
Pada masanya, La Embo menciptakan 16
huruf aksara Wawonii yang disebut aksara La Embo.[30]
Seorang utusan dari kerajaan konawe pernah datang ke Wawonii untuk belajar
Agama Islam kepada La Embo, bahkan Raja Lakidende pun juga belajar seni baca
Al-Qur’an di Wawonii kepada La Embo.[31]
Untuk menjaga
dan mempertahankan wilayahnya, Mbeoga mengangkat tiga pemimpin perang yang
disebut Kapita. Mereka ditugaskan untuk
menjaga daratan dan sepanjang pesisir pulau Wawonii. Ketiga Kapita tersebut yaitu :
1.
Kapita
Lakabere, kepala pertahanan wilayah Wawonii bagian Barat.
2.
Kapita
Danusehe, kepala pertahanan wilayah Wawonii bagian Timur.
3.
Kapita
Samaga, kepala pertahanan wilayah Wawonii bagian Tenggara dan Selatan.
Mbeoga wafat pada tahun 1745 Masehi dan
dimakamkan di Kampung Dimba. Kemudian Palari bin Mbeoga naik tahta melanjutkan
kepemimpinan ayahnya.
H.
Pemerintahan Wawonii dibawah Kekuasaan Kesultanan Buton
1.
Haji Abdul Muthalib (1745-1820 M)
Palari bin Mbeoga atau Haji Abdul Muthalib merupakan orang Wawonii yang pertama
kali menunaikan ibadah haji di tanah suci mekkah. Ia melakukan perjalanan
menuju mekkah selama lima tahun. Setelah pulang dari dari mekkah , ia kemudian
dikenal dengan nama Haji Abdul Muthalib. Nama tersebut merupakan pemberian dari
seorang ulama, sewaktu ia melaksanakan haji di mekkah.
Pada masa pemerintahanya, terjadi perang antara Wawonii dengan pihak Buton yang
disokong oleh VOC. Hal ini sebagaimana tertulis dalam surat Kesultanan Buton
bertarik 28 Rabiul Awal 1211 H atau 31 Oktober 1796 Masehi. Berikut bunyi surat
Kesultanan Buton; “seperkara lagi, paduka
anakanda Sri Sultan dan Wazir Menteri-Menterinya bermaklumkan paduka ayahanda
Kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van Indie di Betawi perihal
sekarang ini sudah dalam perang dengan negeri Wawonii antara tiga bulan. Segala Menteri-Menteri dan segala Rakyat tiga
ribu bilangan banyaknya pergi menyerang negeri Wawonii telah banyak yang mati
dan luka, dan senjata sudah banyak yang rusak dan obat dan pelor sudah habis
dalam perang kami. Jadilah paduka anakanda Sri Sultan dan segala Wazir Menteri-Menterinya
dengan seboleh-bolehnya menyeru dengan sangat permintaan yang amat kasihan
hatinya dibawah kemuliaan dan kemurahannya oleh paduka ayahanda Kompeni Heer
Gurnadur Jenderal dan segala Raden van Indie di Betawi. Maka jikalau ada
kiranya suka dan rela lagi percaya kepada Negeri Buton, maka kami minta mau
beli senapan barang empat ratus pucuk yang baik lagi bagus, dan obat empat
puluh pikul, dan timah dua puluh pikul, dan pelor dua puluh pikul dan batu api
barang empat ribu bilangan banyaknya.[32]
Fakta tersebut
menjelaskan bahwa dalam melakukan infansi ke pulau Wawonii, Kesultanan Buton mendapatkan
perlawanan dari Haji Abdul Muthalib dan pasukannya yang sudah terlatih sewaktu pulau
Wawonii masih berada dalam kekuasan Kerajaan Bungku (Ternate). Selain itu, pasukan
Haji
Abdul Muthalib juga memiliki persenjataan
lengkap dan meriam.
Selama tiga
bulan melakukan penyerangan, Kesultanan Buton mengalami kerugian besar karena prajuritnya
banyak yang gugur dan terluka parah. Selain itu mereka juga telah kehabisan
persenjataan dan obat-obatan. Namun setelah mendapatkan bantuan persenjataan
dan obat-obatan dari pemerintah VOC, Kesultanan Buton kembali melancarkan
serangannya hingga berhasil menaklukkan dan menguasai pulau Wawonii. Haji
Abdul Muthalib sempat ditawan oleh
prajurit kesultanan Buton, namun ia kembali dibebaskan atas perintah Sultan
Buton dan melanjutkan pemerintahannya dibawah kekuasaan Kesultanan Buton.
Sewaktu menjabat
sebagai Lakino, Haji Abdul Muthalib membagi Wawonii menjadi beberapa kampung
yaitu: Kampung Pesue (sekarang Kec. Wawonii Tengah), Lampoo (sekarang Kec.
Wawonii Barat), Ladianta, Lansilowo (sekarang Kec. Wawonii Utara), Mata Buranga
(sekarang Kec. Wawonii Timur). Ia juga memerintahkan
untuk membangun Masjid demi syiar agama Islam dan adat istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam.
Pada saat Mokole Palari
atau Haji Abdul Muthalib wafat,
ia dimakamkan berdekatan makam ayahnya Mbeoga. Sedangkan yang mengerjakan makam
beliau adalah rombongan orang-orang dari Wanci (Buton).[33]
2.
Barala
(1820-1901 M)
Barala
memerintah sejak tahun 1820 hingga tahun 1901 Masehi. Pada
masa pemerintahannya,
pengaruh Kesultanan Buton di Wawonii sangat dominan. Pada periode ini Wawonii
menyerahkan pajak kepada Kesultanan Buton
sebagai bentuk pengakuan, sehingga kebijakan Lakino Barala berkenaan dengan
Kesultanan Buton.
Hubungan antara Kerajaan Bungku dan
Wawonii juga terjalin dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan sebuah pernyataan
bahwa Haji Abdullah adalah pengusaha besar pengekspor kopra dari wawonii, ia
menguasai seluruh kopra pada Kerajaan Bungku dan sekitarnya.[34]
Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa disamping
memiliki hubungan dengan kerajaan Bungku, pulau Wawonii juga merupakan daerah
penghasil dan pemasok kopra bagi daerah bungku. Kelapa pada saat itu menjadi
komoditi perdagangan di Eropa termasuk kawasan timur di Sulawesi dan Ambon. Lakino
Barala wafat pada tahun 1906 Masehi dan dimakamkan di Ladianta. Namun makam
tersebut telah hilang karena gerusan air laut dan ombak yang menyebabkan
terjadinya abrasi pantai.
I.
Pemerintahan Wawonii dibawah Kekuasaan Afdeeling
Boeton en Laiwoei
1.
Haji
Muhammad Gazali (1901-1906 M)
Muhammad Gazali bin Abdul Muthalib merupakan keturunan
bangsawan, ia adalah putra Palari
bin Mbeoga atau yang dikenal
dengan nama Haji Abdul Muthalib. Haji
Muhammad Gazali dilantik sebagai Lakino dibawah kekuasaan
kerajaan Laiwoei
(Konawe). Pada tahun tahun 1902 bertepatan hari tahlilan Almarhum Lakino Barala,
rombongan pasukan Belanda datang ke pulau Wawonii. Mereka merampas meriam dan
senjata lainnya. Meriam itu dipindahkan oleh Belanda ke Talia (Kendari). Hal
itu dilakukan untuk mencegah agar masyarakat Wawonii tidak melakukan perlawanan
dan pemberontakan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, meriam tersebut
diambil oleh pemerintah Kabupaten Kendari
dan diletakkan dirumah jabatan Bupati Kendari pada saat itu Drs. H.
Abdullah Silondae, kemudian meriam itu diserahkan kepada Komandan Korem 147
Haluoleo.[35]
Pada akhir tahun 1906
Masehi, Seluruh wilayah di Sulawesi telah dijajah dan dikuasai oleh pemerintah
Hindia Belanda. Setelah kerajaan
Laiwoi (Konawe) dan kesultanan Buton menandatangani perjanjian Korte Verklaring, maka seluruh daerah
kedua kerajaan ini dijadikan salah satu daerah Afdeeling yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen dengan ibu kotanya Bau-Bau. Daerah tersebut
membawahi tiga wilayah yaitu Onderafdeeling Laiwoei ibu kotanya Kota Kendari, Onderafdeeling Boeton ibu kotanya Kota Bau-Bau dan Onderafdeeling Moena ibu kotanya Kota
Raha. Hal itu menyebabkan terjadinya pergantian nama dari Lakino menjadi Kepala
Distrik. Haji Muhammad Gazali diberhentikan dari jabatan Lakino dan diangkat menjadi
Kepala Distrik pada tahun 1906 Masehi
atas persetujuan pemerintah Hindia Belanda melalui controleur Kendari dalam pemerintahan Onderafdeeling Laiwoei.[36]
2. Haji Muhammad Gazali
(1906-1910 M)
Haji
Muhammad Gazali diangkat menjadi Kepala Onderdistrik Wawonii dibawah Kepala Distrik Ranomeeto. Distrik Ranomeeto pada saat
itu membawahi lima Onderdistrik yaitu: Konda, Abeli, Kendari, Sampara dan
Wawonii (L. Fontjine: 1949). Haji Muhammad Gazali bin Haji Abdul Muthalib
merupakan seorang pemimpin yang memiliki peran penting bagi perubahan sosial,
politik, ekonomi dan agama di pulau Wawonii. Diantara perannya yaitu:
a.
Sebagai seorang tokoh
penyebar agama islam di Wawonii, pesisir pantai Kendari termasuk Laonti dan
Moramo.
b.
Mengajarkan tata cara
beribadah, membaca Kitab Suci Al-Qur’an dan mengajarkan ejaan huruf hijayah
dalam bahasa Wawonii.
c.
Membuka Pesantren Tikar
(sekolah gratis) di Wawonii. Berguru tanpa membayar dengan syarat setelah
pandai mengaji dan memilki ilmu agama akan mengajarkannya kembali kepada orang
lain.
d.
Menghentikan pembayaran
upeti kepada pemerintah Hindia Belanda
e.
Menolak permintaan
pemerintah Hindia Belanda dalam mengirimkan warga Wawonii untuk bekerja di
daerah Kendari II dalam bentuk heredienste
(kerja wajib) membuat jalan dan mengalihkan para warganya sebanyak 100
(seratus) orang untuk membuat jalan di pulau Wawonii yaitu dari kampung Langara
menuju kampung Munse.
Akibat sikapnya,
ia diberhentikan secara paksa oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1910
Masehi karena dikhawatirkan akan membawa pengaruh yang bisa membahayakan
eksistensi pemerintah Hindia Belanda di Wawonii. Haji Muhammad Gazali diberi
gelar Laki Sabu artinya pemimpin yang
diasingkan atau pemimpin yang diturunkan secara paksa.
Pada masa
pemerintahannya, ia memperkenalkan ilmu silat dan juga ilmu kebal kepada
etnik-etnik lain yang singgah di pulau Wawonii. Dalam usahanya memperkuat agama
islam di Wawonii, ia mendatangkan Ulama dari Sulawesi Selatan yaitu KH. Basir
dan juga Ulama besar KH. Fakhruddin (Ketua Ulama pertama se-Indonesia Timur).[37]
3. Kepala Distrik Haji
Ismail (1910-1950 M)
Pada tahun 1911 Masehi, Onderafdeeling Laiwoei dibagi menjadi 16 distrik termasuk distrik Wawonii. Pengangkatan
Haji Ismail atau Haji Suma atas
prakarsa Haji Laasamana,
ia merupakan perwakilan pemerintah Hindia Belanda yang ditugaskan untuk
melantik Haji Ismail menjadi Kepala Distrik Wawonii. Haji Ismail bergelar Tawe Rinaha menjadi Kepala
Distrik Wawonii selama 40 tahun sejak 1910 Masehi dan berakhir tahun 1950 Masehi.
Haji Ismail adalah kemenakan Haji Laasamana yang merupakan keturunan bangsawan
dari Konawe. Pada masa pemerintahannya terdapat beberapa Bonto yang bertindak
sebagai pemutus perkara, dibawahi oleh Kepala Distrik.
Menurut sumber dalam laporan controleur Kendari Letnan Kolonel
Infantri F. Treffers bahwa pada pendataan penduduk tahun 1913, penduduk Wawonii
berjumlah 110 jiwa. Jumlah tersebut belum secara keseluruhan, hanya mencakup
jumlah laki-laki yang kuat untuk kerja rodi atau rodi kampung “Heredienst”. Pada tahun 1930, jumlah penduduk
Distrik Wawonii berdasarkan sensus penduduk berjumlah 4.381 jiwa[38]
yang terdiri dari lima kampung yaitu Lansilowo, Lampeapi, Langara, Munse dan
Ladianta.[39]
Pada tahun 1950, Haji Ismail menyerahkan jabatan Kepala Distrik
kepada anaknya yaitu Nuhung
bin Haji Ismail.[40] Pada tahun
1953, Haji Ismail wafat dan dimakamkan di kampung Munse.
4. Kepala Distrik Nuhung (1950-1957 M)
Nuhung diangkat menjadi
Kepala Distrik menggantikan ayahnya pada tahun 1950, pada saat itu status
pemerintahan Distrik Wawonii dibawah zelbestuur
Kerajaan Laiwoei
(pemerintahan sendiri swapraja) yang berkedudukan di Kendari. Karena
gangguan DI/TII yang menyebabkan terjadinya peristiwa/tragedi berdarah di
Lamongupa[41]
“pekabatua i’lamongupa” pada tahun
1957, Nuhung bin Haji Ismail menyerahkan jabatan Kepala Distrik kepada juru
tulisnya yaitu Haji Ramli bin Samaga.
Penduduk Wawonii yang mayoritas berasal
dari kampung Lampeapi dan Wungkolo berupaya menyelamatkan diri dengan mengungsi
di Kendari, mereka bermukim di daerah Dapu-Dapura yang pada saat itu belum
dihuni dan masih merupakan hutan bakau. Beberapa bulan setelah itu, pemerintah
Kendari memindahkan pengungsi dari Wawonii ke daerah Anduonohu pada tahun 1958.
Anduonohu juga pada saat itu masih berupa lahan kosong yang jauh dari pemukiman
penduduk.[42]
Menurut Informan, warga Wungkolo yang mengungsi di Kendari hanya beberapa orang
saja ikut pindah ke Anduonohu. Mayoritas memilih untuk tetap tinggal di pengungsian
awal yaitu di Puudai (Pelabuhan Dharma).[43] Haji
Ramli menjalankan tugas pemerintahan sebagai kepala distrik Wawonii untuk
sementara berkedudukan di Anduonohu (Kendari). Ia kembali ke Wawonii setelah Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) telah berhasil dipukul mundur oleh
Pasukan Djihad Konawe (PDK). Penumpasan DI/TII di Wawonii terjadi pada akhir
tahun 1959 yang dipimpin oleh Kepolisian Kendari.[44] Haji
Ramli menjalankan tugasnya sebagai kepala Distrik Wawonii dari tahun 1957
sampai dengan tahun 1962.
Pada
tanggal 17 Agustus 1962 bendera merah putih dikibarkan untuk pertama kalinya di
kampung Lampeapi yang bertepatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada tahun ini pula, terjadi peralihan dari pemerintahan Distrik
Wawonii menjadi sistem Pemerintahan Kecamatan Wawonii.
Pada tanggal 8 Februari 1962, H.
Muhammad Rasyid Kende dilantik menjadi Camat Pertama Kecamatan Wawonii yang
berkedudukan di Lamongupa. Selama 3 (tiga) bulan bertugas menjalankan
pemerintahannya, kemudian Camat mengambil keputusan memindahkan kedudukan ibu
kota Kecamatan Wawonii di Langara. Perpindahan tersebut bertepatan dengan tanggal 5
Mei 1962, dekat pelabuhan Langara.
Secara resmi Kecamatan Wawonii
terbentuk pada tanggal 27 April 1964. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor:
2/1964jo.UU.nomor.13/1964, tentang pembentukan Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara. Pada saat itu, Sulawesi Tenggara terbentuk menjadi Kabupaten Kendari.
Pada saat terbentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Kendari terdiri
dari 40 Kecamatan yang salah satunya adalah Kecamatan Wawonii.[45]
[1] Sejarah Kerajaan Konawe; https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Konawe
[2] Sejarah Kerajaan Muna; https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Muna
[3] Sejarah Kesultanan Buton; https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
[4] Sejarah Kerajaan Buton; https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Buton_(Wolio)
[5] Francis Fletcher tahun 1854 : The World Encompassed by Sir Francis Drake,
Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished
Manuscript of Francis Fletcher.
[6] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 175
[7] Mokole adalah sebutan
atau gelar untuk bangsawan dan keturunan bangsawan Tolaki (Konawe).
[8] Taata merupakan gelar
yang diberikan masyarakat Wawonii untuk orang yang dihormati atau yang
dituakan.
[9] Basrin Melamba, Tolaki: Sejarah, identitas dan kebudayaan,
(2013), hal. 418
[10] Baca Peta Bahasa di Sultra; Drs.
Asrun Lio, M.Hum, Ph.D. (Lihat juga David Mead, 2006: 6).
[11] Albertus Ligvoet, 1878, hal.
125. Lihat Susanto Zuhdi, Sejarah Butun
abad XVII – XVIII, Disertasi, (1999)
[13] Baca Albertus Ligvoet, 1878,
hal. 125
[14] Francis Fletcher tahun 1854 : The World Encompassed by Sir Francis Drake,
Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished
Manuscript of Francis Fletcher.
[15] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 74
[16] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 68 – 69
[17] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 55
[18] Antony J., The Ecology of Sulawesi., Whitten,. Yogyakarta: UGM Press, 1997
[19] Susanto Zuhdi, Labu Wana Labu Rope; Sejarah Butun abad XVII
– XVIII, Disertasi, Jakarta: UI, 1999, hal. 82
[20] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 86
[21] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 88-89
[22] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 98
[23] Kakiali adalah sebutan
untuk kelompok pemberontak.
[24] Pendukung perlawanan tersebut
adalah orang Kulisusu (Buton) yang telah lama bermukim di pulau Wawonii.
[25] Susanto Zuhdi, 1999, hal.
141-142
[26] Kerajaan Bungku adalah kerajaan bawahan Kesultanan Ternate.
[27] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 104
[28] Dalam bahasa Belanda: Bungku
disebut Tombuku, Wawonii disebut Boboni dan Menui disebut Manui.
[29] Francis Fletcher tahun 1854 : The World Encompassed by Sir Francis Drake,
Being His Next Voyage to that to Nombre di Dios, collected with an Unpublished
Manuscript of Francis Fletcher.
[30] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 112
[31] Dokumen DPRD Tingkat I Sulawesi
Tenggara, 1997/1982, hal. 47
[32] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 118 – 119
[33] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 121
[34] Catatan dalam gelar adat
kerajaan bungku, Judul: Perkawinan
Raja-Raja Bungku (Mahmid, 2013)
[35] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 122
[36] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 124
[37] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 128
[38] Volksteling, hal. 133 dan 149. Lihat Indisch Verslag, 1930.
[39] Lihat Arsip surat-surat
pemerintahan Onderafdeeling Kendari
Koleksi Arsip Badan Perpustakaan Daerah.
[40] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 130
[41] Peristiwa Berdarah di Lamongupa
terjadi pada Jam 03 Subuh, tanggal 13 Ramadhan tahun 1957.
[42] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 246
[43] Wawancara dengan Hariru dan
Musrah (Pengungsi Peristiwa Berdarah di Lamongupa), tanggal 10 Maret 2020
[44] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 251
[45] Basrin Melamba dkk, Sejarah
Konawe Kepulauan, Yogyakarta: Intana Agency, 2017, hal. 134
Assalamualaikum warahmatullah, cm ingin meluruskan sedikit.
BalasHapusBismillahirrahmanirrrahim wallahi wabillahi watallahi. Mbuatana Bin Kobimoa/Wawonii. bukan berasal dari Konawe sedangkan asalnya dari Batara Guru bukan dari Batara Nggabo.