Sejarah Kampung Tolaki di Pulau Wawonii
A.
Asal Usul Penduduk Wungkolo (Kampung Tolaki)
§ Pemukiman Muara (1897-1902 M)
Pada tahun 1897 Masehi, rombongan dua orang bersaudara dari Kulisusu datang ke Pulau Wawonii. Kedua orang itu bernama Laode Gola dan Laode Maisara. Laode Gola bersama istri dan anaknya bertolak dari Kulisusu menuju pantai Wawonii bagian Tenggara tepatnya di pantai Solongko.[1] Sedangkan Laode Maisara dan keluarganya datang bermukim di Muara.[2] Laode Maisara memiliki dua orang Putra yaitu Lapuru dan Larengga, namun putranya Larengga bersama istri dan anaknya pindah ke Sangi-Sangi (Laonti) dan bermukim disana. Lapuru memiliki tiga orang anak yaitu Tanggasa, Wembatu dan Labudulu. Sekitar tahun 1901, Laode Maisara pergi mengunjungi Larengga putranya di Sangi-Sangi, tetapi disana ia jatuh sakit karena sudah usia uzur dan wafat di Sangi-Sangi (Laonti). Lapuru dan keluarganya bermukim di Muara sampai pada tahun 1902.[3]
§ Pemukiman Lobota (1902-1957 M)
Pada
pertengahan tahun 1902 Masehi, Lapuru bersama istri dan anaknya merintis
pemukiman, mereka menggunakan perahu dayung dari Muara melewati hutan bakau
hingga sampai di Lobota.[4]
Setibanya di Lobota mereka mendengar suara burung “Wunggoloko”, Lapuru bin Laode Maisara kemudian menyampaikan kepada
anak-anaknya bahwa daratan yang akan mereka jadikan tempat pemukiman dinamai “Wunggolo”
dan dikemudian hari nama Wunggolo berubah menjadi Wungkolo. Lapuru dan
keluarganya kemudian membuat gubuk dan bercocok tanam. Pada tahun 1926, Lapuru
bin Laode Maisara kembali ke Kulisusu dan wafat disana.[5]
Tanggasa
bin Lapuru dan istrinya bernama Wedamu dikarunia lima orang anak yaitu: Weadu,
Lahasi, Latongge, Wahura, dan Hariru. Weadu menikah dengan La Agu, Lahasi
menikah dengan Tiali dari Sanggula, Latongge menikah dengan Pode (bersaudara dengan Tiali), Wahura menikah
dengan Hamasa bin Samunu dan Hariru menikah dengan Weati. Wembatu binti Lapuru
dan suaminya bernama Porande dikaruniai dua orang anak yaitu: Abdul Rahman
Porande alias Laporu dan Wemuna. Sedangkan Labudulu bin Lapuru dan istrinya
bernama Waliha binti Lasambe dikaruniai enam orang anak yaitu: Damila, Suraiya,
Lila, Sitiha, Lahiya, dan Sakaria.[6]
§ Pemukiman Lamangkuri (1910-1957 M)
Pada
tahun 1911 Masehi,[7]
sepasang suami istri dari Andoolo bernama Samunu dan Halina datang bermukim di
Lamangkuri.[8]
Halina adalah anak keturunan Garagasi yang melarikan diri karena pernikahannya
dengan Samunu tidak direstui oleh keluarganya. Samunu dan Halina dikaruniai
tiga orang putra yaitu: Langa, Hamasa dan Rumono. Langa bin Samunu memiliki dua
istri yaitu Suraiya dan Saipa. Hamasa bin Samunu hanya memiliki satu istri
yaitu Wahura binti Tanggasa. Sedangkan Rumono bin Samunu memiliki dua istri
yaitu Tina (Laonti) dan Ndeke.[9] Pada
periode inilah pemukiman warga Wungkolo terbagi menjadi dua tempat yaitu
pemukiman Lobota dan pemukiman Lamangkuri. Etnik Tolaki mulai berdatangan dan
saling menikahkan anak-anak mereka sehingga terjadi percampuran etnik antara
Tolaki dan Kulisusu.
Kose
dan Wetongga adalah anak dari Pae-Pae yang berasal dari Pondidaha. Kose menikah
dengan Ndilenggopa dan dikaruniai empat orang putra yaitu: Sabura, Sanabu,
Nasimu dan Lateli. Lateli menikah dengan Wemuna binti Porande. Sedangkan
Wetongga dinikahi oleh Lasambe dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Marahu,
Waliha dan Walepa. Marahu memiliki tiga orang anak yaitu: Hasan, Sitiali dan
Wakama. Waliha dinikahi oleh Labudulu bin Lapuru, sedangkan Walepa dinikahi
oleh Hamidu dari Waworope. Hasan bin Marahu menikah dengan Tina dari
Lalonggasumeeto.[10]
Lamau
dan Masarapa merupakan saudara sepupu, ayah mereka adalah keturunan bangsawan
Konawe. Lamau memiliki tiga orang putra yaitu: Lahali, Achmad[11]
alias Lakue dan Lamburu. Lahali menikah dengan Wakama binti Marahu, Achmad menikah
dengan Mehi dan Lamburu menikah dengan Malia. Sedangkan Masarapa menikah dengan
Weriolo dan menetap menjadi warga Laonti. Mereka dikaruniai seorang anak
perempuan (putri tunggal) bernama Wenandi. Wenandi dinikahi oleh Usman, putra
dari Pewu dan Tina Asi.[12]
Demikianlah
silsilah dan nama-nama penduduk awal kampung Tolaki yang keturunannya terus
berkembang membentuk keluarga besar Wungkolo Raya hingga saat ini telah menjadi
dua Desa yaitu Desa Wungkolo dan Desa Wawoone.
B. Pemerintahan Kampung Wungkolo Pasca Peristiwa Lamongupa
Pada
tanggal 13 Ramadhan tahun 1957, terjadi peristiwa berdarah di Lamongupa yang
menyebabkan penduduk Lampeapi dan Wungkolo terpaksa mengungsi di Kendari dan
kembali ke Wawonii tahun 1962, setelah lima tahun melakukan pengungsian. Pada tahun
1963 terjadi perubahan nama dari kepala kampung menjadi kepala desa berdasarkan
Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kendari tanggal 1 Mei 1963 Nomor: 21/1963,
berjumlah 7 (tujuh) kepala desa yaitu: Salono kepala desa Wawouso, Abdul Halim
kepala desa Lampeapi, Haji Abdullah kepala desa Langara, Surura kepala desa Lansilowo,
Muhammad Muridun kepala desa Ladianta, Muhammad Sirata kepala desa Munse dan Haji
Rasido kepala desa Laonti. Pada perkembangannya wilayah Kecamatan Wawonii dari
7 (tujuh) menjadi 6 (enam) karena desa Laonti masuk Kecamatan Moramo Kabupaten
Kendari bagian selatan pada saat itu, hal ini sesuai Keputusan Bupati Kepala
Daerah Kendari tanggal 2 Juli 1964 Nomor: pemb. 1/1/900.[13]
Kepala
Desa Lampeapi pertama kali adalah Abdul Halim yang menjabat dari tahun 1964
sampai tahun 1965. Desa Lampeapi membawahi kampung Batumea, Wungkolo dan
Cempedak yang masing-masing dipimpin Kepala RK (Rukun Kampung). Pada saat itu
yang ditunjuk menjadi Kepala Rukun Kampung Wungkolo (kampung Tolaki) yaitu Hasan.
Sedangkan yang menjadi ketua RT yaitu Lateli.[14]
Pada
tahun 1965 terjadi pemekaran wilayah hal ini sesuai usul pemecahan desa dalam
wilayah kecamatan Wawonii dari 6 (enam) desa menjadi 10 (sepuluh) desa.
Pengangkatan kepala/anggota pamong desa baru sesuai surat kepala Kecamatan
Wawonii Nomor: pemb. 1/2/1/Rah/1965. Pada tahun ini Desa Lampeapi mengalami
perubahan menjadi Desa Lamongupa yang terdiri dari kampung Batumea, Lampeapi, dan
Wungkolo. Kampung Cempedak dikeluarkan dari Desa Lamongupa dan dimasukkan ke
Desa Laonti. Berikut struktur organisasi pemerintahan Desa Lamongupa:
1. Muh. Sunusi :
Kepala Desa
2. Tambali :
Wakil
3. Sadaka :
Tata Usaha
4. Achmad :
Bagian Pembangunan
5. Muh. Amin :
Bagian Keuangan
Selanjutnya pada
tahun 1972, Tambali menjadi Kepala Desa Lamongupa menggantikan Muhammad Sunusi.
Pada tahun 1983, kampung Wungkolo (kampung Tolaki) dimekarkan menjadi Desa
Wungkolo. Pada saat itu yang pertama kali menjabat sebagai Pelaksana Jabatan Kepala
Desa Wungkolo yaitu Muhammad Idrus. Dimasa pemerintahannya, ia pernah menggagas
untuk memindahkan kampung Wungkolo di Muara.[15]
Namun berkat upaya yang dilakukan tokoh masyarakat Wungkolo, rencana pemindahan
wilayah perkampungan berhasil di gagalkan. Muhammad Idrus kemudian dipindahkan
menjadi Pelaksana Kepala Desa Lampeapi dan digantikan oleh Tambali. Pada masa
pemerintahan Tambali sebagai Pelaksana Kepala Desa Wungkolo, kehidupan
masyarakat Wungkolo mulai mengalami perubahan. Masyarakat Wungkolo tergerak
untuk membuka lahan dan bercocok tanam, baik tanaman jangka pendek maupun
jangka panjang. Saat itu yang ditunjuk menjadi Kepala Rukun Kampung Wungkolo adalah
Somi. Sedangkan yang menjadi ketua RT yaitu Hamasa.[16] Berikut
daftar nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Wungkolo:
NO. |
NAMA |
JABATAN |
PERIODE |
ALAMAT |
1 |
Muh.
Idrus |
Pj. Kepala Desa |
1983-1984 |
Desa Lampeapi |
2 |
Tambali |
Pj. Kepala
Desa |
1984-1985 |
Desa Lampeapi |
3 |
Achmad |
Pj. Kepala
Desa |
1985-1986 |
Desa Wungkolo |
4 |
M. Zalik |
Kepala
Desa |
1986-1998 |
Desa
Wungkolo |
5 |
Lukman |
Kepala
Desa |
Desa
Wungkolo |
Sumber: Diolah dari berbagai
sumber.
[1] Saat ini telah menjadi desa di
Kecamatan Wawonii Tenggara yaitu Desa Roko-Roko.
[2] Muara Wungkolo digunakan oleh orang-orang
bajo dari berbagai daerah sebagai tempat bermukim sementara. Baca Nelayan Suku
Bajo Melestarikan Mewado di Muara Wungkolo; https://panjirsan.blogspot.com
[3] Wawancara dengan Hariru bin
Tanggasa, tanggal 11 Maret 2020
[4] Lobota merupakan daratan pinggir
sungai yang terhubung dengan Muara (petemuan antara air tawar dan air asin),
dimasa lalu Lobota dijadikan pelabuhan oleh masyarakat kampung Wungkolo.
[5] Wawancara dengan Hariru bin
Tanggasa, tanggal 11 Maret 2020
[6] Wawancara dengan Musrah bin
Lateli, tanggal 12 Maret 2020
[7] Pada tahun ini status pulau
Wawonii telah mengalami perubahan dari Onderdistrik menjadi Distrik.
[8] Bekas Pemukiman Lamangkuri
terletak di perbatasan Desa Lampeapi dan Desa Wungkolo.
[9] Wawancara dengan Musrah bin
Lateli, tanggal 12 Maret 2020
[10] Wawancara dengan Musrah bin
Lateli, tanggal 14 Maret 2020
[11] Putra Wungkolo Pertama yang
diangkat menjadi Pelaksana Kepala Desa Wungkolo
[12] Dari pernikahan Paidah binti
Usman dan Jufri bin Hamasa maka lahirlah empat orang putra yang salah satunya
adalah Penulis. Wawancara dengan Haripudin bin Achmad, tanggal 14 Maret 2020
[13] Kantor Arsip Daerah Prov.
Sulawesi Tenggara
[14] Wawancara dengan Musrah bin
Lateli, tanggal 15 Maret 2020
[15] Wilayah Muara terletak di
pesisir pantai Wungkolo berbatasan dengan Desa Sawapatani.
[16] Wawancara dengan Musrah bin
Lateli, tanggal 15 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar