Legenda Tiga Pandegara Sakti (Asal Mula Penamaan Pulau Wawonii)
TIGA PANDEGARA SAKTI
DAHULU kala daerah Lahundape – Kandai
(kendari) merupakan pusat kegiatan perdagangan berbagai suku dari beberapa kerajaan diantaranya yaitu kulisusu, wolio, muna, mori (moronene), bungku, tolaki dan mekongga. Mereka melakukan perdagangan dengan
cara menukar hasil tani dengan barang dan hasil tani lainnya sesuai dengan
kebutuhan. Barang dan hasil tani yang di perdagangkan seperti guci, pakaian,
beras, umbi-umbian, dll.
Pada saat itu banyak orang-orang sakti
dari berbagai macam daerah, namun ada tiga pandegara (pendekar) yang sangat
tersohor namanya, terkenal sakti, jago silat dan kebal tehadap senjata tajam. Tiga
pandegara itu memiliki julukan masing-masing. Lantama yang di juluki “tolipu” adalah keturunan bangsawan
kulisusu, Lambatu yang di juluki “tamalaki” adalah
keturunan bangsawan tolaki dan Langale yang di juluki “tombuku” adalah keturunan
bangsawan bungku.
Mereka adalah tiga pandegara yang pilih
tanding, karena sudah banyak pandegara hebat yang mereka kalahkan. Sehingga
mereka masing-masing memiliki pengikut. Suatu hari sesama pengikut mereka terlibat
bentrok
dan saling adu kesaktian masing-masing. Namun pengikut Langale
dan Tanggasa dapat dikalahkan
oleh pengikut Lantama.
Akhirnya masing-masing pemimpin mereka
saling di pertemukan untuk beradu kekuatan dan kesaktian dengan mengadakan pertandingan. Siapa yang menjadi pemenang
maka dialah yang menjadi pimpinan utama atau kepala pandegara. Setelah
mengadakan musyawarah, mereka akhirnya memutuskan dan menyepakati untuk
mengadakan pertandingan mengupas dan membelah kelapa.
Pertandingan pun di mulai dengan dua
babak...
Babak pertama; pertandingan mengupas
kelapa. Langale menunjukkan kehebatannya dengan mengupas kelapa menggunakan
jari-jari kakinya. Dengan gerak cepat, kelapa itu terpisah dari kulitnya.
Selanjutnya Lambatu
menunjukkan kehebatannya dengan mengupas kelapa menggunakan giginya. Dengan
gerak cepat, kulit kelapa itu terpisah dari tempurungnya. Kini giliran Lantama,
ia menunjukkan kehebatannya dengan memasukkan jari-jari tangannya kedalam
kelapa itu hingga memegang tempurungnya. Lalu ia menarik tempurung kelapa itu
dari kulitnya.
Selanjutnya babak kedua; pertandingan
membelah kelapa. Langale menunjukkan kehebatannya dalam membelah kelapa dengan
menggunakan kepalanya. Ia memukulkan kelapa yang telah terkupas itu di atas
kepalanya dan kelapa itu pun langsung terbelah dua. Lambatu maju menunjukkan kehebatannya dalam
membelah kelapa dengan menggunakan lututnya. Dengan sekali hentakkan, kelapa
yang telah terkupas itu langsung terbelah dua.
Tibalah giliran Lantama, ia menunjukkan
kehebatannya dalam membelah kelapa dengan menggunakan jari telunjuknya. Ia
hanya menekan jari telunjuknya pada kelapa yang telah terkupas itu. Secepat
kedipan mata, kelapa itu pun langsung terbelah dua.
Setelah pertandingan itu selesai,
seluruh pandegara yang hadir di tempat itu menetapkan bahwa yang menjadi
pemenangnya adalah Lantama. Maka dengan begitu, sepakatlah mereka untuk melantik
Lantama sebagai kepala pandegara.
Pada suatu hari, ketiga pandegara itu
mengadakan pertemuan untuk bermusyawarah. Hasil musyawarah itu mereka
memutuskan untuk pergi mengembara dan menyepakati tujuan arah pengembaraannya.
Mereka akan menyusuri laut banda mencari pulau kecil yang bisa di huni dan
tanahnya subur untuk bercocok tanam.
Pada hari yang di tentukan, ketiga
pandegara itu pun siap memulai pengembaraannya. Mereka membuat darangka (perahu layar) yang kokoh. Darangka itu memiliki penyeimbang samping
kiri dan kanan seperti sayap burung yang berfungsi untuk menahan darangka agar
tidak oleng dan tidak mudah tenggelam di hantam ombak. Karena lautan yang akan mereka seberangi ombaknya sangat kencang.
Segala perlengkapan dan perbekalan pun sudah siap menyertai mereka.
Sebelum memulai pengembaraannya itu, mereka melakukan ritual adat, yaitu tidak makan minum selama tiga hari dan tiga malam.
Setelah darangka siap, pelayaran pun di mulai. Layar darangka itu pun di bentangkan...
Angin dari arah barat bertiup kencang ke arah
timur. Samudra luas menyambut riuh dengan hempasan ombak yang berkecamuk. Layar
yang terbentang dan tertiup angin membuat darangka itu melaju meninggalkan pantai
Lahundape.
Pelayaran itu di pimpin oleh Lantama.
Dalam pelayaran itu,
ketiga
Pandegara masing-masing
membawa istri dan harta mereka. Istri Lambatu bernama Wabaura,
ia seorang putri bangsawan kulisusu. Istri Langale bernama Wenuku, ia seorang
putri bangsawan mori. Sedangkan istri Lantama bernama Tinawula, ia seorang
putri bangsawan mekongga. Selain istri dan hartanya, Lantama juga membawa sembilan buah bibit kelapa dan seekor burung beo.
Dibelakang bagian kemudi darangka itu, duduklah Langale dengan istrinya. Sedangkan di tengah darangka, duduklah Lambatu bersama istrinya dan istri Lantama.
Darangka yang di tumpangi oleh ketiga
pandegara itu pun melaju cepat dengan kekuatan angin. Mula-mula perjalanan
darangka itu lancar-lancar saja. Namun ketika
mereka melintasi suatu tempat yang bernama “solo
bokio”, darangka mereka di hantam ombak kencang. Darangka itu hampir terbalik. Lambatu terkejut. Ia pun berteriak karena
panik dengan berkata:”atoto tondu” yang artinya “kita akan tenggelam”.
Lambatu yang terkejut itu kemudian di beri
nama baru oleh Langale sebagai ejekan yaitu Latondu. Sementara itu, pada saat
darangka hampir terbalik, Lantama sedang
memberi makan burung peliharaannya. Burung beo namanya. Pada saat itu burung
beo terlepas dari tangannya karena burung itu juga ikut terkejut, dengan bebas burung itu
terbang tinggi meninggalkan ketiga pandegara itu.
Peristiwa itu tentulah sangat
mengecewakan Lantama. Dengan serta merta, ia pun mengucapkan sumpah. “turun temurun anak dan menantu dari penumpang darangka ini tidak boleh memelihara burung beo”. Hingga sekarang sumpah tersebut tetap di pegang teguh oleh keturunan ketiga
Pandegara itu.
Perjalanan darangka itu pun berlanjut... sampai akhirnya
mereka tiba di sebuah pulau yang tak bernama. Ketiga pandegara itu pun turun
dari darangka
dan menginjakkan kaki di pantai pulau yang tak bernama itu. Di tempat itu,
mereka membuat perjanjian dengan menanam tiga buah kelapa. Kelapa penanda perjanjian
itu mereka namakan “wawonii”, karena
ketiga pandegara itu berjanji di atas kelapa yang telah mereka tanam. Isi
perjanjian mereka adalah “walaupun kita hidup saling berjauhan, hubungan
persaudaraan harus tetap di pertahankan. Suatu saat nanti, keturunan kita akan
bertemu dan membentuk satu keluarga besar. Kelapa ini yang akan menjadi saksi”.
Kelapa penanda perjanjian itu mereka
sepakati sebagai tempat pertemuan anak cucu keturunan mereka di kemudian hari.
Tempat inilah yang nantinya menjadi perkampungan yang di sebut “Langara”.
Setelah mengikrarkan perjanjian, mereka
kemudian berpencar dan melakukan perjalanannya masing-masing dengan membawa dua buah kelapa. Langale memilih jalur
kiri ke arah timur. Dalam perjalanannya ia melihat sebuah gunung yang tinggi. Langale dan
istrinya
kemudian mendaki gunung itu dengan sekuat tenaga. Setelah mencapai puncak, ia
beristirahat sejenak sambil memandang lautan yang membentang luas mengelilinggi
pulau itu. Pulau di mana ia berada. Pulau yang menjadi tujuan pengembaraan
mereka.
Di puncak gunung itu, tanpa sengaja ia
melihat dari kejauhan tempat di mana mereka hampir tenggelam di hantam ombak.
Ia tersenyum mengingat wajah sahabatnya yang kesal karena kehilangan burung
peliharaannya. Demi mengenang burung beo kesangan Lantama sahabatnya. Ia
menamakan gunung itu “gunung beo”.
Dengan perjalanan yang melelahkan, akhirnya Langale sampai juga di tempat
tujuannya.
Sesampainya di tempat itu, ia langsung
mengambil “ladi” (badik) miliknya.
Dengan badik itu ia menggali tanah dan menanam bibit kelapa yang di bawanya. Di situlah Langale
membangun rumah dan berkebun. Tempat inilah yang nantinya menjadi perkampungan
yang disebut “ladianta”.
Sedangkan Lantama dan Latondu (Lambatu) memilih jalur kanan ke arah selatan.
Di tengah perjalanan, Latondu dan istrinya memutuskan untuk singgah menetap di salah satu tempat. Ia
tertarik melihat sebuah pohon yang tumbuh di pinggiran sungai. Pohon itu
memiliki buah yang berwarna merah tua ketika masak. Pohon itu ia namakan “mongupa”. Di situlah Latondu menanam bibit
kelapa yang dibawanya, kemudian membangun rumah dan berkebun. Tempat inilah yang nantinya
menjadi perkampungan yang disebut “lamongupa”.
Lantama dan istrinya terus melanjutkan perjalanannya, hingga
akhirnya ia menemukan tempat yang cocok untuknya, yaitu dataran tinggi. Tempat
itu ia namakan “waworete”. Disitulah Lantama menanam bibit
kelapa yang dibawanya, kemudian membangun rumah dan berkebun. Tempat inilah yang nantinya menjadi
perkampungan “to rete”. Kata “to” artinya “orang” dan “rete” artinya “dataran tinggi”. Jadi “to rete” artinya adalah orang-orang yang bermukim di atas dataran
tinggi yaitu “waworete”.
Konon, keturunan dari ketiga pandegara sakti
inilah yang terus berkembang melahirkan bahasa dan adat istiadat baru yang di
kemudian hari di kenal sebagai bahasa dan adat istiadat “to wawonii” (orang wawonii).
Komentar
Posting Komentar